Oleh: Moeslim Abdurrahman
Sejalan dengan turunnya wahyu, Tuhan sesungguhnya tidak hanya bersabda, tetapi juga berbicara. Oleh sebab itu, wahyu bukanlah turun dalam alam sejarah yang kosong.
Dalam sejarah turunnya wahyu Al Quran, ada yang disebut asbab an-nuzul, yakni mengapa Tuhan ikut berbicara, menanggapi persoalan atas kasus kehidupan yang terjadi di zaman rasul-Nya itu. Tuhan, saat turunnya wahyu itu, memang dalam banyak kejadian terlibat langsung dalam perbincangan, ikut menanggapi persoalan yang muncul.
Dengan begitu, artinya, Tuhan terlibat dalam percakapan sejarah, percakapan dengan orang-orang yang secara aktual menghadapi permasalahan yang muncul saat itu, yang kemudian percakapan Tuhan itu dalam perkembangannya lebih jauh menjadi dokumen kitab suci. Secara hermeneutik, memang hal ini menjadi soal yang rumit. Sebab, kehadiran Tuhan dalam percakapan itu (dalam dialog Tuhan dan pergumulan sejarah) Tuhan memang tidak hadir sendiri.
Kehadiran-Nya merupakan double discourse. Maksudnya, Rasul yang menyatakan bahwa ini lho Tuhan bersabda dan beginilah kehendak-Nya. Rasul menyampaikan itu atas nama Tuhan dan kita orang-orang beriman percaya bahwa Rasul tidak berbohong sebab Rasul itu ma’sum dari perbuatan seperti itu.
Para Mubalig
Sekarang ini, setelah Rasul meninggal, double discourse itu tetap saja berlangsung. Para mubalig dan ustadz, dalam menerangkan kebenaran, sambil mengutip firman Tuhan dalam khotbah-khotbahnya, menunjukkan ini lho, atau begini lho kehendak Tuhan yang sebenarnya.
Padahal, sesungguhnya, otoritas itu tidak ada lagi karena kita tidak saja telah ditinggalkan Rasul, tapi juga karena kehidupan yang kita alami dan perjumpaan kita dengan sejarah serta sebagai audiens wahyu sangat berbeda dengan zaman Rasul itu.
Kita telah berada dalam lokus kehidupan aktual yang berbeda biar pun sebagai orang yang beriman tentu akan selalu menempatkan sabda Tuhan itu sebagai referensi normatif yang sangat penting.
Masalahnya apa sesungguhnya yang terjadi dengan wahyu sekarang ini, tidak lain karena sabda itu telah terpenjara dalam kata-kata, dalam dokumentasi yang disebut kitab suci dan kehendak Tuhan itu tidak lagi eksplisit yang maknanya baru kembali muncul jika diberikan tafsir-menafsir sesuai dengan spekulasi kita sendiri.
Oleh karena itu, tafsiran kita mengenai kehendak Tuhan itu boleh jadi, bisa benar atau bisa tidak. Sebab, seperti kita ketahui bahwa Tuhan telah berhenti bercakap dengan sejarah dan sabda-Nya telah menjadi kitab suci yang literal.
Di era perbenturan kaum fundamentalis sekarang ini, munculnya meaning surplus dari proses penafsiran untuk menemukan beragam makna tentang kehendak Tuhan yang sesungguhnya di balik firman yang literal sering kali ditolak.
Tanpa totalitas
Dengan alasan bahwa ”kebenaran” itu tidak mungkin kecuali dalam totalitasnya. Tanpa hal itu, secara jujur seharusnya mengakui bahwa apa pun tafsiran kita mengenai teks kewahyuan, tetap saja tidak bisa diingkari bahwa hal itu tidak lain adalah pernyataan kita dalam double discourse tersebut.
Sebab, sebagai hamba Tuhan, masing-masing di antara kita sebagai subyek yang beriman, kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya dalam keberagamaan sehari-hari tentulah berbeda antara satu dengan lainnya.
Itulah rahmat yang harus disyukuri karena dengan meaning surplus itu kita sebenarnya memperoleh banyak ruang untuk mendekati terus-menerus untuk menemukan konstruk kehendak Tuhan itu, tanpa harus menyejajarkan sebagai Rasul dalam menentukan, ini lho makna kebenaran yang semestinya yang secara otoritatif ditunjukkan dari Yang Mahabenar.
Tuhan sebagai pemilik kebenaran memang tidak membutuhkan interpretasi. Namun kita, umat manusia, membutuhkannya karena kita telah jauh dari akar teologi yang awal dan kita harus melintasi berbagai penjumlahan sejarah dan peradaban.
Oleh karena itu, the sense of the text tidak mungkin terdapat dalam bunyi literalnya, tetapi selalu dipungut oleh manusia sendiri, oleh pergumulan sejarah di luar inskripsi ayat-ayat suci itu.
Sekadar contoh, tatkala kaum Muslimin menjumpai sejarah munculnya ideologi sebagai utopian, maka Al Quran tentulah dibaca dalam kaitan mencari dasar-dasar ideologis tersebut, begitu pula tatkala zaman baru mulai menganggap bahwa negara bangsa yang modern dipandang sebagai pencarian bentuk politik hidup bersama yang lebih demokratis, maka tidak lain konsep seperti itu juga dicarikan rujukannya ke kitab suci.
Tak pelak, tatkala kaum Muslimin menganggap sistem pemilihan umum adalah bentuk pencarian yang dianggap paling sesuai dan paling dekat dengan kehendak Tuhan agar kaum Muslimin menerapkan musyawarah dalam pengambilan keputusan kolektif, jelas sistem seperti itu akhirnya menjadi pilihan di mana-mana.
Dengan begitu, sesungguhnya makna wahyu memang merupakan pemunculan dan bukan sesuatu yang sudah tersedia sebelum sejarah baru akan mulai.
Kini kita menghadapi zaman baru, suatu kehidupan umat manusia yang sering disebut post-modernity, zaman di mana rasionalitas tidak lagi tunggal seperti diagungkan sebelumnya dalam alam pikiran modernitas.
Begitu pula di zaman post- ini, tidak lagi dipercaya bahwa sign masih stabil mewakili makna dirinya. Sungguh suatu zaman yang tidak saja membuahkan kebimbangan, tapi juga ketidakpastian, dalam pengertian karena multivokalnya keimanan atau kebenaran.
Dalam keadaan seperti ini, kalau kita gamang bisa jadi membuahkan sikap ragu, apakah seharusnya kita memilih saja satu bentuk interpretasi ayat-ayat kewahyuan yang kita percayai secara fundamentalistik bahwa yang lain salah, ataukah secara jujur kita berani mengakui bahwa pluralitas kebenaran itu harus kita terima sebagai konsekuensi hasil buah pencarian dan imajinasi umat manusia?
Firman Tuhan
Perebutan makna-makna firman Tuhan ini dalam sejarah sering kali mendatangkan malapetaka kemanusiaan yang sangat tragis, jika itu terjadi dalam pergulatan politik dan relasi kekuasaan yang tidak adil.
Di mana-mana kekuasaan memang tidak ada yang netral dan kekuasaan cenderung menghadirkan Tuhan bahkan menggunakan proses semacam ini untuk melakukan manipulatif demi legitimasi yang diperlukan.
Akibatnya, wajah Tuhan terseret dalam pertikaian, dan Tuhan menjadi topeng de-humanisasi serta dalam kegiatan memperendah atau de-gradasi martabat kemanusiaan yang memalukan.
Tidaklah masuk akal, apalagi kalau dipertimbangkan secara nurani, misalnya ada sementara orang mengaku memperjuangkan keyakinan atas nama Tuhan sambil dengan seenaknya melakukan teror kemanusiaan yang tidak beradab sama sekali.
Tapi, ya itu tadi, kita memang sedang menjumpai zaman di mana sejarah umat manusia sedang mengalami paradoks dan krisis, seolah-olah moralitas kemanusiaan atau prinsip-prinsip humanisme yang paling dasar pun telah hilang dari peradaban dan dari proses politik kita sehari-hari.
Kalau begitu, masihkah proses politik dan keberagamaan kita memberikan sumbangan peradaban jika di mana-mana malah terjadi konflik atas nama firman Tuhan, selain memang alasan sesungguhnya untuk memperebutkan identitas dan sumber-sumber kehidupan yang materialistik sehingga kesadaran kolektif kemanusiaan sekarang ini terkeping-keping tidak lagi mencerminkan humanisasi?
Ini jelas tidak sekadar pertanyaan politis, tapi juga persoalan teologis yang sangat mendasar yang sedang terjadi dalam kehidupan umat manusia, sehari-hari dan ada di mana mana.
Suatu kebimbangan yang tragis, sering kali tatkala, misalnya, kaum beriman yang meyakini firman Tuhan ternyata dibuat ragu, masihkah tindakan teror yang kriminal terhadap kemanusiaan bisa dibenarkan atas nama keadilan?
Kebenaran di atas kebenaran tentunya sebuah proses pencarian. Namun jelas, kekerasan dan setiap bentuk tindak kriminal kemanusiaan adalah lawan yang nyata dan pasti dari kebenaran itu sendiri.
Dalam hal ini tidak ada ruang menafsir, misalnya tindakan kriminal kemanusiaan yang mana yang seharusnya kita pilih untuk melakukan hal itu. Setiap peradaban tidak mungkin ditegakkan tanpa mengakui bahwasanya manusia memang hidup dalam pluralitasnya dan tidak mungkin kebenaran diperjuangkan dalam bentuknya yang absolut.
Sebab, pada dasarnya kebenaran harus dicari bersama dan harus terus-menerus diperbincangkan. Kebenaran itu sendiri memiliki berbagai sudut, sama halnya alienasi kemanusiaan juga mempunyai keragamannya sendiri.
Oleh karena itu, kebenaran tidak pernah ada dalam singularitasnya sendiri, karena hal itu terdapat dalam kata-kata, dalam sejarah kebenaran yang dilingkari oleh budaya dan komunitasnya masing-masing.
Dalam aliran argumentasi tentang kebenaran yang muncul dalam perbincangan di ruang publik, tentu saja dalam membangun dialog peradaban sangat dibutuhkan sikap terbuka tanpa harus apriori, sebab tidak mungkin suatu kebenaran diperbincangkan sambil menghilangkan kebebasan, suatu nilai yang paling esensial dalam pencarian bersama tentang kebenaran itu sendiri.
Peradaban
Mungkinkah beragamaan umat manusia dapat menumbuhkan peradaban yang toleran dalam mencari kebenaran?
Saya kira bisa asalkan kita memiliki subyek Tuhan yang betul-betul Mahaakbar sebagai sumber imajinasi kebenaran, di luar keterbatasan manusia dengan sejarah komunitasnya masing-masing.
Tentu tidak perlu dalam hal ini kita harus membuang teks kitab suci masing-masing, namun dengan kebesaran Tuhan yang tidak terukur, interpretasi umat manusia tentang kebenaran di balik ayat-ayat-Nya akan selalu terbuka dan tidak bertepi, melampaui batas-batas anggapan, sangkaan, dan klaim setiap orang yang menemukannya.
Suatu dialog mencari dan memperbincangkan kebenaran dalam subyek Tuhan Yang Mahaluas seperti itu tentu harus tetap memberi ruang bagi mereka yang kita duga telah ”sesat” sebab pada dasarnya ”kesesatan” dan ”kebenaran” adalah sisi yang berbeda dalam pencarian kebenaran itu sendiri.
Bahayanya, sudah tentu, merupakan suatu yang ironis jika mereka yang mengklaim telah memiliki ”kebenaran” (atau ”kesesatan”) yang konstruktif itu malah menuhankan diri dalam wacana double dircourse (untuk membaca firman Tuhan), apalagi kalau hal itu disertai dengan tindakan represif yang sesungguhnya sangat melawan nilai-nilai moralitas kemanusiaan yang seharusnya dijunjung bersama.
Cita-cita Tuhan dan kehendak-Nya memang absolut, tapi tafsir manusia tentang itu jelaslah bagian dari sejarah kesadaran umat manusia yang relatif dan terbatas.
Dan hanya arogansi politik atau kekuasaan sajalah yang biasanya sering tidak malu menutupi kejujuran ini. Akankah kecenderungan seperti ini yang akan terjadi dalam kehidupan beragama kita?
Moeslim Abdurrahman, Ketua Al Maun Institute, Jakarta, Antropolog dari University of Illinois at Urbana Campaign, AS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan